Senin, 07 Oktober 2013

Masih belum beranjak dari duduknya. Lelaki berambut ikal nan cerdas yang juga teman sejawatku itu terlihat termenung diantara keramaian muda-mudi yang menghabiskan malam minggu. Tangan yang menyangga dagunya jelas mengisaratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Sorot matanya yang tak berarah menarikku untuk segera mendekatinya.

“DoooRRR...!!”

“E..a..e..e.e..e, duh...duh...”

Jeburrr!

Gretakanku menggolengkan keseimbangannya yang duduk diatas pal kolam ikan. Alhasil wajah imut dan melasnya nyemplung ke air.

“Rese kamu Met” maki Riyadi kepadaku.

“Peace...kita kan friends” sanggahku bersahabat.

Ku ulurkan tangaku kepadanya. Menariknya dari peraduan ikan-ikan kesepian yang sangat rindu akan kehadirannya. Rambut ikalnya semakin tak karuan. tubuh kurusnya nampak jelas dengan balutan kain basah. Ku ajaknya duduk diantara bundaran kolam ikan yang olehnya dijadikan tempat bersejarah atas kejahilanku.

“Kamu kenapa Di, di bawah gemerlapnya bintang dilangit, diatara sorot terang indahnya rembulan dan di tengah-tengah luasnya masjid terbesar dan terindah di Jawa Tengan ini masih saja terlihat murung. Apakah tidak malu dengan pasangan bidadari yang asyik bercandaan di depan sana? Mereka bak sepasang merpati riang bercumbu menghabiskan malam minggu yang penuh dengan cinta ini”

“Kamu ngomong apa Met, kok kayak sastrawan kelaparan gitu”
Gubrakkk... tueng tueng tueng...!!!

“Hampir 5 jam aku mengarang kata-kata. Tanggapanmu Cuma seperti itu. G gaul kamu Di. Gimana, gerangan apa yang terjadi dengan Raden Mas Bagus Riyadi ini?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, Riyadi malah terdiam. Sedikitpun tak mengelurkan suara. Bahkan rasa dingin yang menggelayuti tubuh basahnya tak dihiraukan. Kepalanya menunduk. Angin yang berseliweran mulai merayu bulu kuduku. Rasa dingin mulai menggoda pori-pori, masuk dan mengebak keseluruh penjuru. Tiba-tiba tubuhku diihinggapi kedinginan yang luar biasa.

Suasana berubah menjadi aneh, kupandangi sebuah menara yang menjulang tinggi ke langit. Di atas sana masih banyak kehidupan. Merpati-merpati penghias malampun masih berada pada posisinya. Semua normal-normal saja. Hanya Riyadi yang tak seperti biasa. Ia masih terdiam. Mungkin ada sesuatu yang dipendam. Biasanya jika sudah serius. Kata-kata yang kuluar dari mulutnya mengandung beribu kata hikmah bagi siapa saja yang mendengar.
Dan ternyata benar. Riyadi mengangkat kepalanya. Bola matanya terbuka. Pandangannya mengarah kepadaku. Sorot mata yang tajam itu bertatapan dengan sorot mataku yang agak sayu.

“S...la...met...?”

“Iya Di, ada apa?”

“Aku ingin bercerita kepadamu, dan semoga ini dapat menjadi pelajaran berharga untukmu dalam menjalin persahabatan. Terlebih dengan lawan jenismu”

Aku mengangguk-angguk dan memperhatikan cerita Riyadi dengan serius.

“Dulu, beberapa tahun yang lalu. Tempat ini merupakan kenangan terindah. Masjid ini menjadi saksi persahabatan kita. Antara aku dan dia. Rabi’ah. Aku masih ingat betapa kompaknya kita. Saling menolong, saling mendukung dan saling berbagi. Apa yang menjadi cita-citaku dia mengetahuinya. Begitupula cita-citanya, aku juga tahu”

Ia menghela nafas panjang.

“Coba lihat menara itu Met! Menara itu dulu menjadi background kesukaan kami ketika berfoto. Kemudian plaza di bawah payung raksasa itu. Dulu kami juga sering berfoto di sana. Dan yang paling mengingatkanku dengannya adalah tempat ini. Tempat yang kita duduki ini Met. Batu alqonatir yang dikelilingi oleh kolam ikan. Di sinilah dulu kami sering bersua. Berkumpul bersama dan berbagi cerita. Persis dengan tempat duduk kita saat ini”

Aku menolah noleh mengamati tempat yang menjadi kenangan Riyadi ini.

“Masjid ini menjadi tempat favorit kami untuk berkumpul. Setiap minggu pagi, kami janjian di sini untuk olah raga. Lari-lari mengitari masjid sambil bercanda bersama. Setiap orang pasti iri melihat kami. Karena kekompakan kami bak sepasang merpati. Seperti itu” Riyadi menunjukkan jari ke arah muda-mudi yang sedang bedua-duaan dibawah menara.

“Tapi kami tak pernah seperti itu. Sekalipun kami tak pernah menghabiskan malam minggu di sini.”

Riyadi terdiam sejenak.

“Setelah joging biasanya dilanjutkan dengan sarapan bareng di warung nasi pecel depan masjid. Di sana kami sering bersuka ria, bercanda dan berbagi cerita. Huhf... kenangan itu masih jelas terngiang di kepalaku.”

“Dan sekarang....”

“Dan sekarang apa Di?” Riyadi kembali tertunduk. Ia diam, mengela dan mengeluarkan nafas secara perlahan. Meski ia berusaha untuk tetap tegar. Aku bisa melihat bahwa hatinya berkaca-kaca. Dan tak sampai mencruat hingga ke mata.

“Dan sekarang semua telah berakhir Met”

Hembusan angin malam semakin kencang menghantam kami. Riyadipun nampaknya sudah mulai kedinginan. Tubuhnya menggigil dengan balutan pakaian yang basah. Namun, ia  belum ingin mengakhiri ceritanya. Dan aku masih menjadi pendengar yang baik untuknya.

“Aku sudah menganggapnya seperti saudarku sendiri. Aku sangat sayang dengan dia. Sayang layanya seorang saudara. Dan karena itupula, aku memutuskan untuk menjauh darinya.”

Kembali Riyadi berhenti untuk sekadar menghela nafas.

“Ternyata Met..., kebersamaan dan keterbukaan kami diartikan lain olehnya. Sebenarnya dia sangat enjoy denganku. Dia juga sangat menikmati persahabatan ini. Namun dibalik itu, seringnya kami berjumpa menimbulkan hal baru di hatinya”

“Sikapnya kepadaku mulai aneh. Cara bicaranya juga sudah beda. Ia tak sesantai dulu kala bicara denganku. Dan virus yang tak ku inginkan itu benar-benar datang. Virus itu bernama cinta. Ya, cinta. Cinta adalah virus bagi insan yang tak siap dengan  kedatanganya. Dan obat bagi yang lama menunggu akan hadirnya.”

“Hal itu sangat terbaca dari perubahan sikapnya. Dan kenyakinanku semakin menuju ketitik kebenaran ketika suatu ketika buku hariannya tertinggal di rumah temanku. Di buku hariannya itu tertulis namaku. Ternyata ia sudah sejak lama memendam perasaan itu.”

“Bukan karna aku tak mau menerima kehadiran virus itu. Tapi aku tak mau menyakiti hati seorang perempuan baik sepertinya. Aku tak bisa jika harus menyandingkan hatinya dengan hatiku. Aku belum siap akan resiko yang akan terjadi. Itulah sebabnya aku memilih menjauhinya. Semoga dia sadar dan mengerti akan alasanku”.

“Lalu dia sekarang dimana Di?” sahutku.

“Entahlah, aku sudah lepas kontak darinya”

Pasangan muda-mudi yang berada dibawah menara terlihat menyudahi malam minggu ini. Sementara Riyadi dan aku masih asyik menikmati dinginnya malam yang penuh dengan cinta ini. Bagi Riyadi itu virus, tapi bagiku itu obat. Hehe

“Ngapain kamu Met, cengar-cengir sendiri. Orang-orang sudah tahu kalau  kamu gila, jadi tak usah diperjelas lagi.” Ledek Riyadi kepadaku.

Aku menggerutu menampakkan wajah seperti Cupatkai yang sedang marah. (cinta...oh...cinta. Beginilah cinta, deritanya tiada akhirnya).

Plakkk...!!!

Tangan Riyadi mendarat di kepalaku.

“Sudah. Sudah. Begini Met, Wanita itu memiliki kantong rahasia 1000x lipat lebih tebal dibanding laki-laki. Wanita juga memiliki hati 1000x lipat lebih dalam dibanding laki-laki. Kalau laki-laki mungkin bisa lebih terbuka, namun keterbukaan itu jangan diletakkan di sembarang tempat. Hal yang aku ceritakan tadi adalah hal yang biasa terjadi. Persahabatan itu lebih dari segala-galanya. Jangan sampai persahabatan yang sudah terjalin lama rusak begitu saja dengan virus bernama cinta”

Aku mengangguk-anggukan argumennya.

 “Satu hal yang menjadi pesanku kepadamu Met”

“Apa itu Di?” aku penasaran

“Tapi kamu harus janji untuk mengindahkan pesanku ini ya” 

“Iya...apa?” aku makin penasaran

“KAMU JANGAN JATUH CINTA KEPADAKU”

Jeburrr...!!

Riyadi mendorongku ke kolam ikan. Lalu berlari dengan tertawa terbahak-bahak.



Tagged:

1 komentar:

  1. Weleh. wes wengi nin. aku g tanggung jawab lho. ngombe obat ndisik sana.

    BalasHapus