Senin, 21 Oktober 2013

Ini tentang malam. Malam yang tak pernah sedikitpun lekang. Lekang dari kelelahan mata memandang, telinga mendengar dan hati yang merasa. Merasa setiap senyap, lelah dan pengap. Pengap dari kalutnya kehidupan.

"Huaaaaahhh" nafas panjang keluar dari kerongkongan.

Aku lelah, lelah dengan rutinitas yang menjenuhkan ini. Pulang tengah malam dilanjut dengan begadang hingga petang menghabiskan usianya. Baru bisa istirahat. Tidur hingga siang terbuang sebagian.

Ini bukan sebuah kukungan, bukan pula tuntutan. Namun ini adalah sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang tak pernah mau untuk dihentikan. Sebelum aku benar-benar mau berhenti. Capek. Pundakku seperti ditimpa beban berat, besar dan keras. Beban yang bukan orang lain yang menimpakannya kepadaku. Melainkan beban yang aku buat-buat sendiri. Entah apa tujuannya. Yang pasti aku tidak akan pernah menyalahkan sang malam.

Malam tak pernah bersalah dengan kehadirannya. Lingkungankupun tak bisa seenaknya aku persalahkan.  Dakwaan bahwa kebiasaanku ini timbul karena efek lingkungan, tak lantas seratus persen aku benarkan. Sebab, adanya lingkungan adalah hasil dari dibuatnya sebuah kebiasanya. Kebiasaan yang aku sendiri yang membiasakannya.

Malam ini entah malam kesekian mata ini tak mau terpejam. Malam ini entah malam kesekian tubuh ini tak mau berbaring. Walaupun senyapnya malam telak menonaktifkan fungsi sarafku sebagian. Otak ini, mata ini, tubuh ini, kebiasaan ini tatap berjalan sesuai jalur kebiasaanya.

Alasan apapun yang akan kuhujatkan pada diriku sendiri tak akan berefek, jika aku sendiri tak menancapkan alasan itu pada alasan yang sebenar-benarnya alasan. Beribu guncangan dari luarpun tak akan bisa berefek jika aku tak mau mengguncangkan diriku pada pola hidup yang lebih baik.

Aura malam yang banyak diidam-idamkan para penyebah yang taat belum dapat ku temui hingga malam ini. Malam yang biasanya digunakan sebagian umat muslim untuk beribadah, berduaan dengan Tuhannya, bermesraan, bernostalgia, curhat, berkeluh kesah pun belum mampu ku jumpai hingga malam ini.

Entah sampai kapan malam-malam yang merindukan seperti itu dapat kurasakan kembali. Yang pasti tuntutanku tidak banyak. Bukan. Bukan tuntutan kepada Tuhan. Bukan pula tuntutan kepada lingkungan. Apalagi tuntutan kepada sang malam. Sangat bukan.

Tuntutanku ini hanya ku tujukan untuk tubuhku yang semakin hari tidak bisa dikontrol ini. Iya, tuntutan untuk memilih. Merubah kebiasaan atau membiasaakan kebiasaan dengan polesan keefektifan. Pilihan kedua ini lah yang memungkinkan aku untuk menjatuhkan dakwaan pada selain diriku.

Benar. Dakwaan yang harus juga aku jatuhkan kepada lingkungan dan juga kepada sang malam. Kecuali Tuhan. Tuhan tidak mendapatkan jatah dakwaan ini. Sebab ini adalah urusan makluk dengan alam. Tuhan sudah bewelas asih. Cuma aku saja yang tak pandai menyirami uluran kasih dari Tuhan itu.

Aku ingin ini hanya urusanku dengan lingkungan dan malam. Jika sudah beres dan tak ada konflik lagi. Maka akan ku genapi dengan kasih Tuhan. Kasih yang akan menghiasi malam dengan penuh bintang. Kasih yang akan membiarkanku bermunajat kepadanya. Menangis di hadapan-NYA. Dan meminta langsung kepada-NYA tanpa sedikitpun ada rasa malu.

"Hai malam" sapaku bersahabat.

"Jika kiranya kau tak mau membantu memperbaiki kebiasaanku bersamamu. Izinkanlah aku menjadi sahabatmu. Kau tak perlu merubah gelapmu. Tak perlu merubah sepimu, Aku yang akan merubah diriku sendiri untukmu. Merubah kebiasaanku menjadi kebiasaan yang luar biasa. Yang kaupun bangga aku bersanding menemanimu"

"Hal lingkungan" sapaku bersahabat.

"Jika kiranya kau tak mau membantu memperbaiki kebiasaanku bersamamu. Izinkanlah aku menjadi sahabatmu. Kau tak perlu merubah gaduhmu. Kau tak perlu merubah aroganmu. Aku yang akan merubah diriku sendiri untukmu. Merubah kebiasaanku menjadi kebiasaan yang luar biasa. Yang kaupun bangga melihat aku bersanding menemanimu"

Dalam dekapan gelapnya malam 22 Oktober 2013.






Tagged:

0 comments:

Posting Komentar