Masih belum beranjak dari duduknya. Lelaki berambut ikal nan cerdas yang
juga teman sejawatku itu terlihat termenung diantara keramaian muda-mudi yang menghabiskan
malam minggu. Tangan yang menyangga dagunya jelas mengisaratkan bahwa dia
sedang memikirkan sesuatu. Sorot matanya yang tak berarah menarikku untuk
segera mendekatinya.
“DoooRRR...!!”
“E..a..e..e.e..e, duh...duh...”
Jeburrr!
Gretakanku menggolengkan keseimbangannya yang duduk diatas pal kolam
ikan. Alhasil wajah imut dan melasnya nyemplung ke air.
“Rese kamu Met” maki Riyadi kepadaku.
“Peace...kita kan friends” sanggahku bersahabat.
Ku ulurkan tangaku kepadanya. Menariknya dari peraduan ikan-ikan
kesepian yang sangat rindu akan kehadirannya. Rambut ikalnya semakin tak karuan.
tubuh kurusnya nampak jelas dengan balutan kain basah. Ku ajaknya duduk
diantara bundaran kolam ikan yang olehnya dijadikan tempat bersejarah atas
kejahilanku.
“Kamu kenapa Di, di bawah gemerlapnya bintang dilangit, diatara sorot
terang indahnya rembulan dan di tengah-tengah luasnya masjid terbesar dan
terindah di Jawa Tengan ini masih saja terlihat murung. Apakah tidak malu
dengan pasangan bidadari yang asyik bercandaan di depan sana? Mereka bak
sepasang merpati riang bercumbu menghabiskan malam minggu yang penuh dengan
cinta ini”
“Kamu ngomong apa Met, kok kayak sastrawan kelaparan gitu”
Gubrakkk... tueng tueng tueng...!!!
“Hampir 5 jam aku mengarang kata-kata. Tanggapanmu Cuma seperti itu. G
gaul kamu Di. Gimana, gerangan apa yang terjadi dengan Raden Mas Bagus Riyadi
ini?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Riyadi malah terdiam. Sedikitpun tak
mengelurkan suara. Bahkan rasa dingin yang menggelayuti tubuh basahnya tak
dihiraukan. Kepalanya menunduk. Angin yang berseliweran mulai merayu bulu
kuduku. Rasa dingin mulai menggoda pori-pori, masuk dan mengebak keseluruh
penjuru. Tiba-tiba tubuhku diihinggapi kedinginan yang luar biasa.
Suasana berubah menjadi aneh, kupandangi sebuah menara yang menjulang
tinggi ke langit. Di atas sana masih banyak kehidupan. Merpati-merpati penghias
malampun masih berada pada posisinya. Semua normal-normal saja. Hanya Riyadi
yang tak seperti biasa. Ia masih terdiam. Mungkin ada sesuatu yang dipendam.
Biasanya jika sudah serius. Kata-kata yang kuluar dari mulutnya mengandung
beribu kata hikmah bagi siapa saja yang mendengar.
Dan ternyata benar. Riyadi mengangkat kepalanya. Bola matanya terbuka.
Pandangannya mengarah kepadaku. Sorot mata yang tajam itu bertatapan dengan
sorot mataku yang agak sayu.
“S...la...met...?”
“Iya Di, ada apa?”
“Aku ingin bercerita kepadamu, dan semoga ini dapat menjadi pelajaran
berharga untukmu dalam menjalin persahabatan. Terlebih dengan lawan jenismu”
Aku mengangguk-angguk dan memperhatikan cerita Riyadi dengan serius.
“Dulu, beberapa tahun yang lalu. Tempat ini merupakan kenangan terindah.
Masjid ini menjadi saksi persahabatan kita. Antara aku dan dia. Rabi’ah. Aku
masih ingat betapa kompaknya kita. Saling menolong, saling mendukung dan saling
berbagi. Apa yang menjadi cita-citaku dia mengetahuinya. Begitupula
cita-citanya, aku juga tahu”
Ia menghela nafas panjang.
“Coba lihat menara itu Met! Menara itu dulu menjadi background kesukaan
kami ketika berfoto. Kemudian plaza di bawah payung raksasa itu. Dulu kami juga
sering berfoto di sana. Dan yang paling mengingatkanku dengannya adalah tempat
ini. Tempat yang kita duduki ini Met. Batu alqonatir yang dikelilingi oleh
kolam ikan. Di sinilah dulu kami sering bersua. Berkumpul bersama dan berbagi
cerita. Persis dengan tempat duduk kita saat ini”
Aku menolah noleh mengamati tempat yang menjadi kenangan Riyadi ini.
“Masjid ini menjadi tempat favorit kami untuk berkumpul. Setiap minggu
pagi, kami janjian di sini untuk olah raga. Lari-lari mengitari masjid sambil
bercanda bersama. Setiap orang pasti iri melihat kami. Karena kekompakan kami
bak sepasang merpati. Seperti itu” Riyadi menunjukkan jari ke arah muda-mudi
yang sedang bedua-duaan dibawah menara.
“Tapi kami tak pernah seperti itu. Sekalipun kami tak pernah
menghabiskan malam minggu di sini.”
Riyadi terdiam sejenak.
“Setelah joging biasanya dilanjutkan dengan sarapan bareng di warung
nasi pecel depan masjid. Di sana kami sering bersuka ria, bercanda dan berbagi
cerita. Huhf... kenangan itu masih jelas terngiang di kepalaku.”
“Dan sekarang....”
“Dan sekarang apa Di?” Riyadi kembali tertunduk. Ia diam, mengela dan
mengeluarkan nafas secara perlahan. Meski ia berusaha untuk tetap tegar. Aku bisa
melihat bahwa hatinya berkaca-kaca. Dan tak sampai mencruat hingga ke mata.
“Dan sekarang semua telah berakhir Met”
Hembusan angin malam semakin kencang menghantam kami. Riyadipun
nampaknya sudah mulai kedinginan. Tubuhnya menggigil dengan balutan pakaian
yang basah. Namun, ia belum ingin
mengakhiri ceritanya. Dan aku masih menjadi pendengar yang baik untuknya.
“Aku sudah menganggapnya seperti saudarku sendiri. Aku sangat sayang
dengan dia. Sayang layanya seorang saudara. Dan karena itupula, aku memutuskan
untuk menjauh darinya.”
Kembali Riyadi berhenti untuk sekadar menghela nafas.
“Ternyata Met..., kebersamaan dan keterbukaan kami diartikan lain
olehnya. Sebenarnya dia sangat enjoy denganku. Dia juga sangat menikmati
persahabatan ini. Namun dibalik itu, seringnya kami berjumpa menimbulkan hal
baru di hatinya”
“Sikapnya kepadaku mulai aneh. Cara bicaranya juga sudah beda. Ia tak
sesantai dulu kala bicara denganku. Dan virus yang tak ku inginkan itu
benar-benar datang. Virus itu bernama cinta. Ya, cinta. Cinta adalah virus bagi
insan yang tak siap dengan kedatanganya.
Dan obat bagi yang lama menunggu akan hadirnya.”
“Hal itu sangat terbaca dari perubahan sikapnya. Dan kenyakinanku
semakin menuju ketitik kebenaran ketika suatu ketika buku hariannya tertinggal
di rumah temanku. Di buku hariannya itu tertulis namaku. Ternyata ia sudah
sejak lama memendam perasaan itu.”
“Bukan karna aku tak mau menerima kehadiran virus itu. Tapi aku tak mau
menyakiti hati seorang perempuan baik sepertinya. Aku tak bisa jika harus
menyandingkan hatinya dengan hatiku. Aku belum siap akan resiko yang akan
terjadi. Itulah sebabnya aku memilih menjauhinya. Semoga dia sadar dan mengerti
akan alasanku”.
“Lalu dia sekarang dimana Di?” sahutku.
“Entahlah, aku sudah lepas kontak darinya”
Pasangan muda-mudi yang berada dibawah menara terlihat menyudahi malam
minggu ini. Sementara Riyadi dan aku masih asyik menikmati dinginnya malam yang
penuh dengan cinta ini. Bagi Riyadi itu virus, tapi bagiku itu obat. Hehe
“Ngapain kamu Met, cengar-cengir sendiri. Orang-orang sudah tahu
kalau kamu gila, jadi tak usah
diperjelas lagi.” Ledek Riyadi kepadaku.
Aku menggerutu menampakkan wajah seperti Cupatkai yang sedang marah.
(cinta...oh...cinta. Beginilah cinta, deritanya tiada akhirnya).
Plakkk...!!!
Tangan Riyadi mendarat di kepalaku.
“Sudah. Sudah. Begini Met, Wanita itu memiliki kantong rahasia 1000x
lipat lebih tebal dibanding laki-laki. Wanita juga memiliki hati 1000x lipat
lebih dalam dibanding laki-laki. Kalau laki-laki mungkin bisa lebih terbuka,
namun keterbukaan itu jangan diletakkan di sembarang tempat. Hal yang aku
ceritakan tadi adalah hal yang biasa terjadi. Persahabatan itu lebih dari
segala-galanya. Jangan sampai persahabatan yang sudah terjalin lama rusak
begitu saja dengan virus bernama cinta”
Aku mengangguk-anggukan argumennya.
“Satu hal yang menjadi pesanku kepadamu Met”
“Apa itu Di?” aku penasaran
“Tapi kamu harus janji untuk mengindahkan pesanku ini ya”
“Iya...apa?” aku makin penasaran
“KAMU JANGAN JATUH CINTA KEPADAKU”
Jeburrr...!!
Riyadi mendorongku ke kolam ikan. Lalu berlari dengan tertawa
terbahak-bahak.





Weleh. wes wengi nin. aku g tanggung jawab lho. ngombe obat ndisik sana.
BalasHapus